Mengapa Orang Solo Sarapannya Kuliner Daging Kambing? Ini Ceritanya

Mengapa Orang Solo Sarapannya Kuliner Daging Kambing? Ini Ceritanya


Tohir78

– Beberapa kreator konten terkenal pernah membuat konten mengenai budaya orang Solo yang sarapannya adalah kuiner daging kambing.

Salah satunya adalah kreator konten di Instagram dengan nama akun

@bigtummy_culinary,

yang meninjau salah satu warung makan sate di Solo dan diunggah pada 5 April 2025 lalu.

Konten yang dia buat mengungkapkan bahwa warung makan Sate Kambing H. Man Gullit sudah buka sejak pukul 07.00 WIB.

Tidak hanya sate, warung makan tersebut juga menyajikan olahan daging kambing lainnya, termasuk gulai, tongseng, dan tengkleng.

“Pukul 10.00 kurang seperempat,” kata kreator konten dalam video saat tiba di warung makan sate kambing itu.

“Orang Solo kalau sarapan itu sate kambing,” lanjutnya.

Tidak hanya dia, YouTuber Tanboy Kun juga pernah mencoba kuliner kambing di Solo pada pagi hari.

Di dalam kontennya yang diunggah pada Maret 2025, Tanboy Kun mencoba masakan kambing di pedagang Sate Kambing Pak Parjo Brengos.

Dia mengungkapkan bahwa Sate Kambing Pak Parjo Brengos juga disebut sebagai Sate Kambing Subuh, karena sudah mulai berjualan sejak pukul 04.00 WIB.

“Biasanya yang menjual ini siang atau tidak sore atau tidak malam sekalian,” kata Tanboy Kun di depan Sate Kambing Pak Parjo Brengos.

“Tapi aku belum pernah dengar orang yang menjual makanan ini pagi-pagi, subuh atau siang hari seperti ini,” tambahnya.

Lalu, mengapa orang Solo makan pagi dengan daging kambing?

Sejarah orang Solo memakan daging kambing di pagi hari

Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus pendiri Solo Societeit, Heri Priyatmoko, mengonfirmasi bahwa ada budaya orang Solo yang makan daging kambing di pagi hari.

“Saya pernah menulis (esai) tentang itu,” katanya kepada

Fakta Utama

, Rabu (9/7/2025).

Menurut Heri, hal tersebut berkaitan dengan penduduk Hadramaut (Timur Tengah) yang datang ke tanah Jawa, khususnya daerah Solo.

Sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Pasar Kliwon.

Meski berada di Solo, mereka tetap mempertahankan budaya dari Hadramaut, termasuk pola makan sehari-harinya.

Berdasarkan riset van Berg yang tercantum dalam buku Orang Arab di Nusantara (2010), orang-orang Hadramaut makan tiga kali sehari.

Sarapan segera setelah orang bangun, mengambil air wudhu dan shalat Subuh,” kata Heri.

Kemudian makan siang dilakukan antara pukul 11.00-12.00 sebelum shalat Zuhur, serta makan malam setelah shalat Isya sekitar pukul 19.30.

Sebagai informasi, sebagian besar penduduk Hadramaut memeluk agama Islam.

Sementara daging kambing merupakan makanan pokok bagi orang-orang Hadramaut tersebut. Justru beras menjadi makanan sekunder mereka.

“Roti dari gandum atau jagung, kurma kering, dan daging kambing merupakan makanan pokok,” kata Heri.

Salah satu daging kambing tersebut diolah menjadi sate. Namun sate dikenal dengan istilah lain di Timur Tengah atau daratan Arab.

Di sana, daging kambing dimasak dengan cara dibakar dan dikenal sebagai shish kebab. Metode ini populer sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah.

“Di Timur Tengah, sate kambing memiliki irisan daging yang jauh lebih besar dibandingkan sate Indonesia dan dipanggang dengan tusukan besi, bukan menggunakan ruas bambu,” kata Heri.

Dia mengatakan, orang-orang Hadramaut yang tinggal di Pasar Kliwon adalah penggemar berbagai olahan daging kambing seperti sate, gulai, krengseng, dan nasi goreng.

Seiring berjalannya waktu, Pasar Kliwon menjadi tempat bagi orang-orang sekitar untuk mencari olahan daging kambing, salah satunya sate.

“Gemar menyantap olahan kambing ternyata memicu maraknya warung sate di kawasan Pasar Kliwon yang masih bisa kita temui hingga sekarang,” kata Heri.

Orang-orang lokal juga bekerja kepada orang-orang Hadramaut untuk ikut mengelola warung sate kambing.

Awalnya, mereka membantu tuan rumah sambil belajar teknik memasak dan manajemen warung sate. Di sana, penduduk setempat menciptakan resep tongseng dari krengseng.

“Tongseng identik dengan kuah, sedangkan krengseng diolah kering. Sebuah fakta kecil ini menunjukkan kreativitas masyarakat setempat yang tidak hanya menerima pengaruh luar,” jelas Heri.

Setelah memiliki modal yang cukup dan pengalaman dalam memproses daging kambing, orang-orang lokal mulai membuka bisnis kuliner tersebut. Mereka juga tidak hanya berpusat di Pasar Kliwon.

Heri menilai, sate juga menjadi makanan favorit para priyayi pada masa itu yang terbawa hingga masa pensiun, bukan hanya digandrungi oleh kalangan keturunan Hadramaut di Pasar Kliwon.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *