Dekolonisasi Istilah Prasejarah dalam Penulisan Ulang Sejarah Kebangsaan Indonesia

Dekolonisasi Istilah Prasejarah dalam Penulisan Ulang Sejarah Kebangsaan Indonesia


Tohir78

beberapa waktu terakhir, wacana tentang penggantian istilah zaman “prasejarah” menjadi zaman “sejarah awal”, atau bisa juga “peradaban awal”, ataupun “Masa Awal Kehidupan Manusia di Nusantara” telah menjadi perdebatan penting dalam historiografi Indonesia.

Seperti yang telah diterbitkan oleh

Tohir78

pada 19 Juni 2025,
istilah “prasejarah” mengandung bias kolonial
yang secara implisit menempatkan masyarakat non-aksara sebagai entitas ‘belum bersejarah’ atau inferior dibanding masyarakat beraksara.

Oleh karena itu, penggantian istilah ini bukan sekadar persoalan linguistik, tetapi bagian dari upaya membongkar struktur epistemik kolonial yang masih menguasai cara kita memahami masa lalu.

Menumbuhkan kesadaran dekolonisasi

Penggunaan istilah alternatif tersebut tidak hanya masalah diksi, tapi diharapkan berdampak signifikan dalam menggeser narasi sejarah dari kerangka evolusi teknologis yang bersifat linear.

Sebagai contoh dari alat batu ke logam, menuju pemahaman yang lebih kompleks tentang keberagaman bentuk kehidupan, nilai budaya, dan dinamika sosial masyarakat awal di berbagai wilayah kepulauan Indonesia.

Pemikiran ini sejalan dengan kritik terhadap model perkembangan masyarakat yang bersifat linear sebagaimana pernah dirumuskan oleh Auguste Comte dalam “hukum tiga tahap” (teologis, metafisis, positif).

Meskipun teori ini berperan penting dalam sejarah ilmu sosial Barat, struktur berpikirnya turut membentuk dasar bagi episteme kolonial, di mana masyarakat non-Barat dianggap berada pada ‘tahap awal’ atau ‘belum maju’ yang kemudian dicirikan sebagai Masyarakat yang hidup dalam masa ‘prasejarah’.

Model linear seperti ini tidak hanya menyederhanakan keragaman pengalaman historis, tetapi juga mengabaikan bentuk-bentuk pengetahuan lokal yang tidak sejalan dengan nalar positivistik Barat.

Oleh karena itu, pergantian istilah “prasejarah” harus dibarengi dengan pembongkaran kerangka evolusioner dan teleologis yang selama ini menyertai penulisan sejarah Indonesia.

Perubahan ini merefleksikan semangat dekolonisasi epistemologi dan revitalisasi penulisan sejarah kebangsaan Indonesia.

Dia harus dilihat sebagai bagian dari upaya strategis dan ideologis, sebagaimana disarankan oleh para pemikir pascakolonial seperti Dipesh Chakrabarty (2000) yang menekankan pentingnya menggeser pusat epistemologis dari Eropa ke pengalaman lokal, serta Walter Mignolo (2021) yang dalam karyanya menekankan pentingnya “epistemologi dari Selatan” sebagai sarana untuk mendekonstruksi hierarki pengetahuan kolonial dan merekonstruksi masa lalu.

Ini sangat penting dalam membongkar hierarki pengetahuan kolonial guna merekonstruksi masa lalu Indonesia dengan lebih adil, inklusif, dan kontekstual.

Ada beberapa alasan mengapa dekolonisasi ini urgen dilakukan. Pertama, semangat utama dari penggantian istilah ini adalah pengayaan fakta sejarah melalui hasil temuan para arkeolog dan sejarawan yang terkandung dalam disertasi, tesis, artikel ilmiah, dan penelitian akademik lainnya yang belum terakomodasi dalam narasi besar sejarah nasional.

Khususnya sejak diterbitkannya buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), sebuah proyek historiografi resmi negara yang meskipun monumental dalam skala dan cakupan, dinilai masih mereproduksi kerangka narasi sejarah konvensional yang dominan, dengan kecenderungan mengabaikan hasil-hasil riset baru yang lebih bersifat lokal, multivokal, dan kritis terhadap warisan kolonial.

Temuan-temuan ini menunjukkan kompleksitas dan keragaman sejarah Indonesia yang tidak dapat lagi disederhanakan dalam kerangka kolonial atau Eurosentris yang memposisikan masyarakat non-aksara sebagai ‘tak bersejarah’.

Kedua, transformasi ini juga berakar dari respons terhadap disrupsi tatanan global sebagai akibat revolusi digital.

Generasi muda Indonesia kini menghadapi banjir informasi, narasi pseudo-sejarah, dan krisis identitas yang mengaburkan jati diri mereka sebagai warga negara Indonesia.

Di tengah kondisi masyarakat yang rawan terfragmentasi oleh isu ideologi transnasional, ras, agama, dan etnisitas, penulisan sejarah kebangsaan harus memiliki daya kohesi sosial.

Sejarah kebangsaan tidak semata berkisah tentang kejayaan masa lalu, tetapi menjadi medium untuk menanamkan kesadaran kolektif dan cita-cita kebangsaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konteks ini, penulisan sejarah tidak pernah lepas dari nilai-nilai. Seperti yang dijelaskan oleh Michel Foucault, Hayden White, dan Edward Carr, historiografi adalah medan kekuasaan dan representasi.

Seperti yang ditegaskan oleh Michel Foucault (1969), bahwa produksi pengetahuan historis selalu beroperasi dalam jaringan kuasa. Menurut Hayden White (1973) yang menunjukkan bahwa narasi sejarah tidak netral secara struktur retorika dan moral.

Serta Edward Carr (1961) yang menyatakan bahwa fakta sejarah bukanlah objek pasif, melainkan dipilih dan ditafsirkan oleh sejarawan sesuai dengan nilai-nilainya.

Oleh karena itu, kesadaran nilai dan komitmen terhadap idealisme objektivitas harus tetap menjadi fondasi penulisan sejarah, tanpa terjerumus dalam hipokrisi positivistik yang mengklaim netralitas penuh.

Dekolonisasi historiografi Indonesia memerlukan penerapan setidaknya lima perspektif utama, yang dapat disusun secara logis dari tingkat global ke lokal untuk memperjelas progresi gagasan dan membangun landasan konseptual yang utuh.

Pertama adalah perspektif Indonesia-sentris yang menolak subordinasi terhadap narasi kolonial dan menegaskan keunikan pengalaman sejarah bangsa Indonesia.

Kedua, perspektif otonomi sejarah yang membongkar mitos-mitos kolonial, misalnya, tidak mengakui istilah

Pax Neerlandica

yang diusulkan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad XX.

Contoh lain adalah mengakui bahwa istilah seperti “prasejarah” membawa bias kolonial, dan mendorong adopsi istilah alternatif seperti “sejarah awal” atau “awal peradaban Nusantara” yang lebih memberdayakan masyarakat Indonesia.

Ketiga, adalah perspektif multivocal yang memberi ruang bagi suara-suara subaltern, komunitas adat, perempuan, dan kelompok minoritas dalam narasi Sejarah.

Empat adalah perspektif global yang memandang sejarah Indonesia dalam konteks konektivitas dan interaksi global tanpa kehilangan keunikan lokalnya.

Kelima adalah penemuan (kembali) identitas keindonesiaan (reinventing Indonesia Identity) yang memanfaatkan narasi sejarah untuk merumuskan ulang identitas nasional secara reflektif dan kritis.

Perlu ditegaskan bahwa perubahan istilah ini bukanlah upaya menghapus metode atau epistemologi arkeologi.

Istilah ‘prasejarah’ tetap valid dalam kajian arkeologi yang memiliki fokus metodologis tersendiri terhadap masyarakat non-aksara.

Namun, dalam bidang penulisan sejarah nasional, pilihan istilah mencerminkan kepentingan dan kerangka berpikir serta posisi ideologis terhadap masa lalu.

Oleh karena itu, penggantian istilah hanyalah soal perspektif dalam melihat masa lampau. Perlu diingat bahwa narasi sejarah sesungguhnya adalah

pikiran tentang masa lalu

seperti yang dapat disimpulkan dari pendapat R.G. Collingwood, Hyden White, Benedetto Croce dll.

Perkembangan ilmu sejarah dan arkeologi dewasa ini juga menunjukkan adanya pendekatan lintas-disipliner.

Sejarawan kini tak hanya mengandalkan sumber tertulis, tetapi juga artefak, folklor, wawancara, dan sumber lisan lainnya.

Sementara itu, arkeolog pun telah banyak meneliti periode kolonial dengan memperhatikan artefak yang dikontekstualisasikan dengan dokumen tertulis.


Pendekatan

antara kedua disiplin ini membuka jalan bagi penulisan sejarah dan arkeologi yang lebih kaya, inklusif, dan reflektif.

Sudah cukup banyak arkeolog muda yang meneliti mengenai peninggalan bangunan kolonial Belanda dengan memadukan sumber artefak dengan sumber tertulis.

Saya sendiri pernah menjadi pembimbing dan penulis bersama mereka dan hal itu sangat

menginspirasi

. Kolaborasi seperti ini memperkuat sinergi antar-disiplin dan memperkaya fondasi pengetahuan historis nasional yang lebih kaya, inklusif, dan reflektif.

Kritikan

Penggantian istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal” atau istilah serupa seperti ‘masa awal peradaban Nusantara’ dll. bukanlah tindakan simbolik semata, melainkan bagian dari proyek besar untuk meneguhkan kembali historiografi kebangsaan Indonesia yang kontekstual, kritis, dan membebaskan.

Wacana ini sejalan dengan kritik Nur Ihsan dalam artikelnya “Hantu ‘Prasejarah’ dalam Wacana ‘Sejarah Awal'” yang diterbitkan di unhas.tv pada 25 Juni 2025 yang menegaskan bahwa istilah ‘prasejarah’ sarat dengan warisan epistemik kolonial, yang secara diskursif meminggirkan pengalaman masyarakat non-aksara.

Dalam konteks ini, penulisan ulang sejarah nasional tidak hanya menuntut penggantian terminologi, tetapi juga penataan ulang horizon pengetahuan dan reposisi aktor-aktor sejarah.

Seperti yang dikatakan Paul Ricoeur dalam

Waktu dan Narasi

(1984), narasi sejarah tidak hanya menyusun kronologi, tetapi juga mengartikulasikan hubungan temporal antara masa lalu, kini, dan masa depan.

Demikian pula, Carr pernah menyampaikan bahwa istilah yang digunakan memiliki dampak langsung terhadap cara suatu masyarakat membayangkan asal-usul dan masa depannya.

Demikian pula, Linda Tuhiwai Smith dalam

Metodologi Dekolonisasi

(1999) menekankan bahwa proyek dekolonisasi ilmu pengetahuan tidak dapat berhenti pada perbaikan metode, melainkan harus menyentuh struktur pengetahuan itu sendiri.

Dengan memperluas narasi sejarah Indonesia hingga mencakup ‘sejarah awal’ ataupun ‘awal peradaban Nusantara’ sebagai istilah yang lebih berdaya dan otonom, penulisan sejarah kebangsaan berperan sebagai wahana peneguhan jati diri nasional yang terbebas dari kerangka hegemoni kolonial.

Seperti yang ditekankan oleh Achille Mbembe (2001) dalam

Di Pasca Koloni

, dekolonisasi tidak hanya berarti menghapus simbol, tetapi mengubah logika yang mengatur representasi historis dan sosial.

Oleh karena itu, istilah dan konsep dalam historiografi perlu didekonstruksi untuk membuka jalan bagi cara berpikir yang lebih plural, reflektif, dan setara.

Seperti yang ditegaskan oleh Gayatri Spivak dalam esainya

Bisakah Subaltern Berbicara?

(1988), proses representasi dalam narasi dominan sering kali mengabaikan agensi kelompok marginal.

Dalam konteks Indonesia, upaya dekolonisasi historiografi berarti membuka ruang bagi suara-suara pinggiran seperti masyarakat adat, perempuan, dan komunitas lokal serta komunitas yang tak mengenal aksara yang selama ini direduksi atau dihilangkan dalam narasi besar sejarah kebangsaan.

Historiografi tidak hanya bertugas merekam masa lalu, tetapi juga membimbing pembentukan masa depan bangsa.

Paul Ricoeur (1984) mengemukakan bahwa narasi historis memungkinkan suatu masyarakat untuk merekonsiliasi antara pengalaman temporal yang kompleks dengan horizon masa depannya.

Oleh karena itu, pemilihan istilah dan narasi dalam sejarah kebangsaan harus dimaknai juga sebagai tindakan etis dan pedagogis, bukan sekadar teknis atau akademis.

Oleh karena itu, dekolonisasi istilah seperti ‘prasejarah’ merupakan langkah awal untuk menata ulang hubungan antara bahasa, kekuasaan, dan ingatan kolektif.

Dalam semangat ini, penulisan ulang sejarah kebangsaan Indonesia harus bergerak ke arah praksis reflektif dan emansipatoris yang tidak hanya mengabdi pada masa lalu, tetapi juga merancang masa depan yang lebih adil dan setara.

Ini sejalan dengan harapan Nur Ihsan bahwa perubahan istilah saja tidak cukup jika tidak disertai pembongkaran terhadap struktur wacana yang selama ini mempertahankan dominasi kronologi dan epistemologi kolonial.

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran epistemik dan keberanian institusional dalam menata ulang historiografi Indonesia secara lebih berdaulat.

Upaya mengganti istilah prasejarah dengan istilah seperti sejarah awal, awal peradaban Nusantara, atau masa awal kehidupan manusia di Nusantara atau frasa lain bukanlah sekadar persoalan semantik, melainkan merupakan langkah strategis dalam dekolonisasi epistemologis historiografi Indonesia.

Istilah prasejarah mengandung bias kolonial yang menempatkan masyarakat non-aksara sebagai “belum bersejarah”, sehingga membatasi pemahaman kita terhadap kompleksitas dan keberagaman pengalaman historis bangsa Indonesia.

Penggantian istilah ini perlu disertai dengan pembongkaran kerangka evolusioner dan teleologis warisan kolonial yang selama ini mendasari narasi sejarah Indonesia, serta harus ditopang oleh lima perspektif: Indonesia-sentris, otonomi sejarah, multivokalitas, perspektif global, dan rekonstruksi identitas kebangsaan.

Proyek ini bukan hanya soal representasi bahasa, melainkan soal keadilan pengetahuan, pembebasan narasi dari dominasi kolonial, dan penguatan agensi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam sejarah.

Seperti yang digariskan oleh pemikir pascakolonial bahwa perubahan terminologi harus disertai perombakan struktur pengetahuan yang selama ini mempertahankan dominasi Barat.

Dalam konteks ini, penulisan sejarah kebangsaan Indonesia harus diarahkan pada praksis yang reflektif, etis, dan emansipatoris, yang tidak hanya membaca masa lalu, tetapi juga merancang masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berdaulat secara epistemik.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *