Fakta Utama
,
Yogyakarta
– Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat menilai sudah saatnya status pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia naik sebagai pekerja.
Kenaikan status menjadi pekerja, menurut dia, akan menjamin para
pengemudi
ojol mendapatkan hak-haknya dari operator aplikasi tempat mereka berada.
Dengan status pekerja, para
pengemudi
“Ojol hak-haknya akan lebih jelas termasuk perlindungan dan jaminan sosial,” kata Jumhur saat berbicara dalam forum ‘Mungkinkah Ojol Menjadi Pekerja?’ di Yogyakarta, Sabtu petang 19 Juli 2025.
Sekretaris Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengatakan, belasan tahun aplikasi ojek online berkembang di Indonesia, hingga saat ini belum ada arah yang jelas mengenai status para pengemudi ojol ke depan.
Dengan model kemitraan seperti saat ini, posisi
pengemudi
ojol sangat rentan dan berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari tanggung jawab sosial dari penyedia layanan. “Sering kali kami menerima laporan dari bawah, bagaimana sikap sewenang-wenang, ketidakadilan, pendapatan yang kecil, jam kerja yang tidak menentu, serta tidak ada perlindungan dengan status kemitraan ini,” ujar Jumhur.
Padahal, menurut Jumhur, sejumlah negara telah menetapkan kalangan pengemudi ojol yang sebelumnya sebagai mitra platform digital sektor transportasi bisa naik menjadi pekerja. Ia contohkan, pada tahun 2021, Inggris telah menetapkan kelompok driver ojol ini sebagai pekerja. Pada tahun yang sama, pemerintah Spanyol juga secara resmi menyatakan
pengemudi
ojol diangkat sebagai pekerja.
Mayoritas menambahkan, dalam pertemuan Organisasi Buruh Dunia (ILO) yang baru-baru ini dihadirinya, delegasi dari 187 negara menyatakan bahwa semua serikat buruh di setiap negara sepakat bahwa pekerja yang bekerja pada platform transportasi digital dikategorikan sebagai pekerja dengan fleksibilitas tinggi.
Artinya bukan pekerja seperti pada umumnya yang memiliki aturan jam kerja delapan jam sehari, harus datang pagi atau pensiun pada usia tertentu. “Aturan itu untuk platform digital sangat bisa berubah, yang pasti hak-hak dasar mereka setelah menjadi pekerja harus ada,” katanya.
Di Indonesia, istilah Jumhur, terdapat 12 undang-undang yang mengatur dan melindungi pekerja. Bagi
pengemudi
ojol, semua aturan itu hanya berlaku jika statusnya sebagai pekerja.
Mayoritas melanjutkan, dengan status mitra ini, yang paling berbahaya ketika masih ada stigma bahwa para
pengemudi
Ojol ini masih beruntung karena bisa bekerja. “Padahal tidak seharusnya jika masih ada pihak yang mengatakan ‘Syukur masih ada aplikator, sehingga bisa bekerja’,”
Lebih lanjut, Jumhur menyatakan bahwa manusia bukan hanya hidup untuk makan, tetapi meningkatkan peradaban. “Termasuk perlindungan, tabungan, memiliki masa depan, masa tua, bisa mengurus dan menyekolahkan anak,” katanya.
Ia juga menyoroti bagaimana kondisi pendapatan aplikator dan biaya yang dikeluarkan untuk mitra. Hal ini yang tidak pernah transparan. “Pemerintah mungkin tidak pernah tahu, berapa juta orang yang bekerja di sektor ini.”
Ia contohkan di Yogyakarta, misalnya terdapat 20 ribu pengemudi ojek online maka angka itu bisa saja mencapai 40 ribu. “Itu perkiraan semua karena tidak ada laporan dan tidak dipaksa untuk melaporkan berapa jumlahnya. Sehingga kami mendorong para
pengemudi
“ini dapat berstatus sebagai pekerja dengan fleksibilitas dan hak-hak dasar,” kata Jumhur.
Sementara para pengemudi ojek online yang disebut sebagai pekerja biasanya menerima gaji bulanan. Padahal, hal itu hanya masalah teknis pembayaran. “Di luar negeri, pekerjaan dibayar per jam, apakah ditransfer per bulan, per jam, atau per hari adalah urusan teknis,” katanya.
Wakil Direktur Utama dan Deputy CEO GoTo Catherine Hindra Sutjahyo sebelumnya mengungkapkan bahwa banyak mitra Gojek memilih profesi ini karena tidak terikat kewajiban presensi di kantor. Fleksibilitas ini memungkinkan para pengemudi menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan. Ia memberikan contoh ibu rumah tangga yang bisa menerima penumpang setelah mengantar anak ke sekolah, lalu berhenti sementara untuk menjemput anaknya. “Konsep bekerja seperti ini sulit dilakukan di sektor pekerjaan formal,” katanya pada pertengahan Mei lalu.
Sistem kerja fleksibel ini, menurutnya, memungkinkan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Bahkan, ojek online berperan sebagai penyangga sosial karena jumlah mitra meningkat signifikan saat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi.
Namun meskipun bersifat fleksibel, Catherine mengklaim mitra
pengemudi
ojol tetap bisa memperoleh penghasilan maksimal jika bekerja penuh waktu. “Pendapatan mitra sesuai dengan kinerja mereka,” katanya kala itu.
Hal yang sama disampaikan oleh Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy. Ia menyebut 50 persen mitra Grab berasal dari masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Beberapa di antaranya merupakan korban PHK atau masih menunggu pekerjaan lain.
Beberapa orang sudah memiliki pekerjaan utama dan menjadi driver ojek online untuk menambah penghasilan. “Prinsip atau marwah dari (driver ojol) adalah fleksibilitas,” kata Tirza. Ia menekankan bahwa fleksibilitas memberikan kebebasan kepada para pengemudi dalam menentukan jam kerja dan hari libur. “Makanya, jika diubah menjadi pekerja tetap, marwahnya tidak akan cocok,” katanya.