Mahasiswa Belanda Mengalami Kebingungan Budaya Saat di Mojokerto, Terkejut Melihat Kamar Mandi Jongkok Milik Warga

Mahasiswa Belanda Mengalami Kebingungan Budaya Saat di Mojokerto, Terkejut Melihat Kamar Mandi Jongkok Milik Warga

Universitas Kristen Petra (PCU) menyelenggarakan Program Kegiatan Masyarakat (iCOP) untuk para mahasiswa. Peserta tidak hanya berasal dari Universitas Kristen Petra, tetapi juga ada mahasiswa dari kampus lain maupun luar negeri. iCOP merupakan kegiatan pengabdian masyarakat. Para mahasiswa tinggal dan makan di rumah warga yang tersebar di tiga Kecamatan wilayah Kabupaten Mojokerto. Menariknya, peserta dari mahasiswa asing merasakan pengalaman pertama menggunakan toilet jongkok.


Tohir78

,

Mojokerto

Menggunakan sepatu boots, Daniëlle Muizelaar mengumpulkan sampah di sungai desa wisata Jembul. Pengalaman itu belum pernah dirasakan sebelumnya di Belanda. Apalagi sampah yang diangkat bersama tim hampir 9 kwintal. Maklum, aliran itu adalah tempat bertemunya tiga sungai di kaki gunung Anjasmoro.

Dani baru pertama kali ke Indonesia. Mahasiswa Inholland University itu sangat akrab dengan peserta iCOP dan tim PCU yang mendampinginya. Dia bercerita tentang

kejutan budaya

yang dialaminya selama lebih dari seminggu. Dirinya kaget dengan kaskus jongkok. “Di Belanda tidak ada seperti itu,” katanya sambil tertawa.

Tahun ini, peserta iCOP terdiri dari 152 mahasiswa dari enam negara dan 9 kampus. Tiga di antaranya adalah kampus dari Indonesia, yaitu Universitas Katolik Widya Mandira, Unesa, dan PCU. Sementara itu, 81 mahasiswa berasal dari luar negeri. Total ada enam negara yang menjadi peserta, yaitu Korea Selatan, Belanda, Hong Kong, Jepang, Taiwan, dan Indonesia. Semuanya tersebar di 6 dusun, lima desa, dan 3 kecamatan. Setiap desa memiliki program masing-masing. Misalnya di tempat Dani, Desa Jembul, Jatirejo.

Bersama timnya, Dani menginisiasi penanganan lingkungan dari sampah. Bekerja sama dengan komunitas sungai watch, warga sekitar dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkab Mojokerto.

Mereka mengadakan kegiatan Riverine Youth Action For Clean Future. Tidak hanya membersihkan sampah di sungai, tetapi juga memberikan edukasi kepada warga hingga siswa SD. “Warga sering kali membuang sampah ke sungai atau membakar,” kata Felix Petra Sanjaya.

Peserta iCOP juga mengajarkan budaya ke sekolah dasar di sekitar. Salah satunya adalah Kim In Ha, peserta dari Korea Selatan, akan mengajarkan budaya dan permainan tradisional Korea. Menurutnya, tidak ada hambatan besar meskipun baru 9 hari berada di Mojokerto. “Makanannya enak dan di sini lebih dingin dibandingkan Korea,” katanya. Tentu saja, Kim berada di desa yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro sehingga udaranya sejuk.

Kim dan mahasiswa Korea lainnya memiliki misi khusus. Mereka ingin siswa SD bisa membayangkan tentang Korea. Misalnya, Kim Hui Jeong akan melatih siswa SD membuat mural. Tujuannya adalah agar ada pengalaman yang berkesan. Menariknya, Dani dan mahasiswa internasional lainnya memiliki makanan favorit. Seperti pisang goreng, tempe, tahu, dan sate.

Setiap desa memiliki program masing-masing. Mereka menyesuaikan potensi yang dapat dikembangkan di setiap desa. Misalnya di Desa Rejosari, Kecamatan Jatirejo. Di sana, peserta iCOP melakukan pengembangan kolam ikan lele. Selain itu, mereka juga ingin mengembangkan Desa Rejosari menjadi desa wisata kopi.

Mereka juga bergabung dengan warga. Bahkan, salah satu Daan Van Eck sengaja datang membawa bantuan dari Belanda. Sebelum berangkat, Daan berhasil mengumpulkan donasi sebesar 1.100 Euro. Uang itu digunakan untuk membantu kegiatan olahraga di dua dusun tempat tinggalnya. “Ada yang digunakan untuk membeli bola voli, jaring hingga alat pendukung olahraga lainnya,” katanya.

Dan secara sengaja fokus pada olahraga. Mengingat dia kuliah jurusan olahraga di Inholland University. Saat tiba pertama kali, dia sangat terkesan. Meskipun sempat kaget melihat kamar mandi. Di tempatnya menggunakan shower. Di desa dia harus menggunakan gayung. Belum lagi harus duduk jongkok saat buang air besar. Kedepannya, Daan ingin kembali lagi ke Indonesia bersama orang tuanya.

Dia mengatakan, dirinya mengenal iCOP dari informasi di kampusnya. Karena tertarik, dia mengikuti program tersebut. Menurutnya, semua warga sangat ramah dan membuatnya seperti keluarga. Sangat akrab, Daan sering menyapa orang yang lewat di tempat tinggalnya. Dia juga memiliki makanan favorit, yaitu lele, mujair goreng, dan sate.

Dosen pendamping lapangan desa Rejosari Hanjaya Juliet Siaputra mengatakan, peserta makan, tidur, hingga mencuci bajunya di rumah warga. Satu rumah ditinggali dua peserta. Salah satunya berperan sebagai penerjemah. Tidak ada makanan khusus yang harus disajikan oleh tuan rumah. Hanya saja tidak boleh terlalu pedas. “Saat acara yang keluar rumah mereka dibungkuskan bekal dari tuan rumah,” katanya.

Makanan bekal sangat sederhana. Ada telur dadar, mi instan goreng, tempe dan tahu goreng. Tapi, mahasiswa internasional itu makan dengan lahap. Ada aturan unik yang harus dijaga. Mereka tidak boleh naik kendaraan. Kecuali dibonceng oleh warga setempat. Karena lokasi tempat tinggal dan lokasi acara jauh di lereng gunung. Mereka diantar oleh perangkat desa dengan kendaraan.

Ketua iCOP 2025 Denny Tri Haryanto mengatakan, fokus tahun ini adalah “Transforming Society” dengan memberdayakan potensi desa serta melestarikan budaya lokal. Mereka tiba di lokasi mulai tanggal 16 Juli hingga 9 Agustus. Lokasi yang dipilih telah dilakukan survei dan diskusi dengan warga. Pemberdayaan yang dilakukan juga bersifat berkelanjutan. Tahun depan, lokasi tersebut akan kembali digunakan. Tujuannya agar dampak yang diberikan iCOP dirasakan oleh masyarakat. “Bukan sekadar pindah lokasi setahun, tetapi kami susun untuk pengembangan selama tiga tahun,” katanya.

(Tohir78)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *